TIMES MALUT – Kasus persetubuhan terhadap anak di bawah umur yang melibatkan terdakwa dengan inisial IH alias Atta di Kecamatan Tidore Selatan akhirnya menemui titik akhir di Pengadilan Negeri (PN) Tidore Kepulauan.
Dalam sidang yang digelar, Pada Selasa 3 Desember 2024, majelis hakim menjatuhkan putusan pidana kepada terdakwa IH berdasarkan Putusan Nomor 82/Pid.Sus/2024/PN Sos.
Terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana memaksa anak melakukan persetubuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 81 Ayat 3 UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP.
Dalam amar putusan, hakim memvonis IH dengan pidana penjara selama 10 tahun, denda sebesar Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan, dan menetapkan barang bukti untuk dimusnahkan.
Kuasa hukum korban, Suarez Yanto Yunus, menyampaikan bahwa putusan ini menunjukkan majelis hakim sejalan dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Namun, Suarez menilai pidana yang dijatuhkan seharusnya lebih berat, mengingat perbuatan terdakwa tergolong sangat berat.
“Dalam fakta persidangan, terdakwa terbukti melakukan persetubuhan terhadap korban sejak korban duduk di bangku kelas 2 SMP hingga kelas 3 SMA, dengan total kurang lebih 720 kali,” ujar Suarez.
Ia juga menambahkan bahwa dalam putusan ini, majelis hakim mempertimbangkan Victim Impact Statement (VIS) yang diajukan oleh pihaknya sebagai bagian dari upaya memberikan perlindungan hukum maksimal kepada korban.
Suarez mengingatkan semua pihak, termasuk keluarga terdakwa, untuk tidak lagi mendiskreditkan korban. Sebelumnya, korban sempat mendapatkan tekanan dan kekerasan dari lingkungan terdekat karena dianggap merekayasa kasus.
“Fakta telah membuktikan bahwa pengakuan korban yang awalnya diragukan kini terbukti di pengadilan. Putusan hakim harus dianggap benar oleh semua pihak sesuai prinsip res judicata pro veritate habetur,” tegasnya.
Dengan berakhirnya kasus ini, Suarez berharap masyarakat dapat menerima kembali korban dan keluarganya tanpa diskriminasi. Ia juga meminta semua pihak untuk melakukan pendekatan berbasis korban (victim-centered approach) agar korban tidak kembali menjadi sasaran kejahatan atau mengalami trauma berulang (re-victimization).
“Negara, masyarakat, dan keluarga harus bekerja sama memberikan perlindungan hukum yang menyeluruh kepada korban untuk mencegah kejahatan serupa terjadi lagi,” tutup Suarez.
Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya penegakan hukum yang tegas dalam melindungi hak-hak anak dari kekerasan dan eksploitasi.***
Komentar