Oleh: [Harianto]

Setiap kota memiliki wajahnya sendiri. Ada yang dibangun di atas ambisi, ada yang tumbuh dari luka, dan ada pula yang perlahan merangkak dalam diam. Tapi tidak semua kota memberi ruang untuk merenung. Di tengah hiruk-pikuk pembangunan, deru kendaraan, dan tekanan hidup yang kian menghimpit, keberadaan sebuah “Kota Renungan” menjadi semakin langka—bahkan mungkin terdengar utopis.

Bayangkan sebuah kota yang tidak hanya mengukur keberhasilannya dari gedung-gedung tinggi atau pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari kedalaman pikir warganya. Kota yang tak hanya sibuk membangun jalan tol, tapi juga membangun jalan hati. Di sana, taman bukan sekadar tempat selfie, tapi ruang kontemplasi. Perpustakaan tidak ditinggalkan berdebu, tapi jadi pusat pemantik nurani. Masjid, gereja, pura, dan vihara tidak hanya ramai di hari besar, tapi hidup sebagai tempat mencari arah dan ketenangan.

Kota Renungan bukan berarti kota tanpa kemajuan. Justru, ia tumbuh dari kesadaran bahwa kemajuan sejati bukan hanya soal materi, melainkan kualitas batin. Bahwa teknologi hebat tidak ada artinya jika manusia di dalamnya kehilangan makna hidup. Kota Renungan adalah kota yang tidak alergi pada pertanyaan “untuk apa semua ini?”—pertanyaan sederhana yang sering kita hindari, tapi sebenarnya menentukan arah masa depan.

Namun, membangun Kota Renungan bukanlah tugas pemerintah semata. Ia lahir dari kesadaran kolektif. Dari guru yang tak hanya mengajar kurikulum, tapi juga menanamkan nilai. Dari pemimpin yang tak hanya mengejar popularitas, tapi juga kebermanfaatan. Dari warga yang mau berhenti sejenak, menatap sekeliling, dan bertanya: sudahkah kita hidup dengan benar?

Mungkin Kota Renungan belum ada dalam bentuk fisik. Tapi ia bisa dimulai dari pikiran dan tindakan kita. Dari bagaimana kita memperlakukan sesama, dari bagaimana kita membaca berita, hingga dari cara kita memaknai waktu. Karena sesungguhnya, Kota Renungan bukan tempat di peta—ia adalah tempat di dalam diri, yang perlahan bisa menjelma nyata.