Oleh : UL Amarullah (Masyarkat Desa Maidi)
Pembangunan adalah sebuah proses perubahan yang dilakukan oleh pemerintah secara sadar dan terencana, guna memperbaiki berbagai sektor di kehidupan masyarakat.
Pembangunan yang di lakukan pemerintah harus berpedoman pada tiga asas, yaitu Berkeadilan, Demokratis dan Berkelanjutan. Maka pembangunan di suatu wilayah akan berjalan merata bagi masyarakat.
Tapi pada kenyataanya pembangunan di Kota Tidore Kepulauan Masih jauh dari kata kemerataan yang diharapkan. Secara geografis Kota Tidore Kepulauan terbagi menjadi dua wilayah besar yaitu Pulau Tidore dan Daratan Oba.
Sampai saat ini pembangunan di Kota Tidore Kepulauan masih terkonsentrasi atau terpusat dan Pulau Tidore. Sedangkan daratan Oba terkhusus Kecamatan Oba Selatan masih jauh dari kata kemerataan pembangunan.
Pembangunan yang tidak merata di Kota Tidore Kepulauan merupakan salah satu bentuk “RASISME INSTITUSIONAL” karena dilakukan oleh instansi pemerintah lewat kebijakan-kebijakan yang bersifat diskriminatif terhadap wilayah-wilayah di luar Pulau Tidore dalam hal ini daratan Oba terkhusus Kecamatan Oba Selatan.
Rasisme institusional yang Terstruktur dan Sistematis dilakukan oleh Pemerintah Kota Tidore Kepulauan di Daratan Oba terkhusus Kecamatan Oba Selatan terjadi di berbagai sektor.
Rasisme Institusional berujung pada rasisme pembangunan, dimana pembangunan hanya terkonsentrasi atau berpusat di Pulau Tidore saja, padahal secara administrasi Kecamatan Oba Selatan dan daratan Oba merupakan bagian dari Kota Tidore Kepulauan.
Rasisme PembangunanĀ yang terjadi Kecamatan Oba Selatan menyebabkan orang-orang kehilangan hak mengendalikan masa depan sendiri. Orang-orang di paksa untuk menerima kenyataan kalau mereka bukan prioritas dalam pembangunan, baik itu pembangunan dalam bidang infrastruktur ataupun pembangunan sumber daya manusia.
Rasisme pembangunan diĀ Kota Tidore Kepulauan bisa di liat dari program-program pemerintah dalam hal ini proyek-proyek infrastruktur pemerintah yang masuk ke Oba Selatan terkesan asal-asalan dan tidak tepat sasaran.
Contoh kasus daerah transmigrasi Desa Maidi, yang sudah tergenang banjir bertahun-tahun, sampai detik ini tidak ada upaya serius pemerintah untuk mengatasi banjir di trans Maidi. Bahkan proyek-proyek yang masuk di Trans Maidi terkesan asal-asalan dan tidak tepat sasaran.
Dampak dari rasisme pembangunan di Trans Maidi memaksa warga masyarakat Trans Maidi harus meninggalkan tempat tinggal atau kampung mereka, untuk mencari tempat tinggal atau hunian baru yang layak serta menjamin kelangsungan hidup mereka.
Praktek pembangunan yang bersifat rasisme ini berjalan beriringan dengan kepentingan politik penguasa, dimana pemerintah dalam hal ini penguasa akan merespon keluh kesah rakyat di saat momentum-momentum politik.
Model pembangunan seperti ini akan membentuk pola membangun dan memberdayakan padahal pada kenyataannya di tidak di prioritas.
Rasisme yang paling kejam adalah rasisme yang di lakukan secara institusional (Pemerintah) karena di lakukan secara kolektif melalui kebijakan-kebijakan yang diskriminatif.***
Tinggalkan Balasan