TIMES MALUT – Suasana di Lapangan Sepak Bola Dowora hari ini tak seperti biasanya. Di tengah gegap gempita Turnamen Fomasigaro 2025, hadir momen penuh haru ketika para pemuda dari Kelurahan Cobodoe membentangkan gambar besar bertuliskan “Rest In Peace M. Saktiawan” — sebagai bentuk duka, cinta, dan penghormatan terakhir kepada sosok sahabat yang tak tergantikan.

M. Saktiawan  dikenal hangat dan murah senyum. Sosok yang mudah bergaul dan disenangi semua kalangan — baik tua maupun muda. Ia selalu hadir dalam kehidupan sosial kampungnya, dan kepergiannya kini meninggalkan kehampaan, bukan hanya bagi pemuda, tetapi juga bagi seluruh masyarakat Cobodoe.

Saktiawan berpulang pada Senin, 23 Juni 2025 setelah waktu Dzuhur, meninggalkan duka yang dalam dan tiba-tiba bagi mereka yang mengenalnya. Kepergiannya yang begitu cepat membuat banyak orang belum sempat mengucapkan selamat tinggal, namun cinta mereka tetap abadi melalui kenangan yang mereka jaga.

Gambar besar Saktiawan yang mereka bentangkan bukan sekadar simbol kehilangan. Itu adalah ungkapan kasih yang tidak sempat terucap, pelukan yang tak sempat diberikan, serta tangis yang selama ini ditahan. Pemuda Cobodoe tidak ingin kehilangan ini berlalu begitu saja. Mereka memilih merangkainya menjadi kenangan kolektif — agar Awan tetap hadir di tengah-tengah mereka.

Pertandingan pun dihentikan. Seluruh penonton berdiri. Pemain dan official menundukkan kepala. Hening menyelimuti Lapangan Dowora. Tidak ada peluit, tidak ada sorak. Dalam momen itu, semua yang hadir memahami satu hal: bahwa sepak bola bukan hanya soal menang dan kalah, tapi soal kebersamaan dan kehilangan yang dibagi bersama.

Ketua Forum Komunikasi Generasi Muda Kelurahan Dowora (FOMASIGARO), Suyono Sahmil, mengungkapkan Filosofi Turnamen tahun ini adalah Satu Bola, Satu Dunia. Bola yang sama kita tendang, kita kejar, dan kita rayakan. Hari ini, kita mengerti bahwa bola juga bisa menyatukan duka. Duka Pemuda Cobodoe adalah duka kita semua.

Dirinya menyampaikan, dalam filosofi One Ball, One World, bola tidak hanya menjadi alat permainan, melainkan simbol persatuan. Bola yang bundar itu bergerak dari kaki ke kaki, dari satu tim ke tim lain, menyatukan banyak individu dalam semangat yang sama. Dan hari ini, bola itu menjadi pengingat: bahwa Saktiawan, dalam hidupnya, telah menyatukan sahabat-sahabatnya — dan dalam kepergiannya, ia mempersatukan satu lapangan penuh cinta.

“Turnamen Fomasigaro 2025 akan terus bergulir. Tapi hari ini, kemenangan tidak diukur dari skor, melainkan dari rasa saling memiliki dan persahabatan sejati. Gambar Saktiawan yang dibentangkan bukan hanya mengenang masa lalu, tapi juga mengikat tekad: bahwa semangat, tawa, dan cinta yang ia bawa harus terus hidup di dada semua yang ditinggalkan,” terangnya.

Dan pada akhirnya, Menurut Suyono, kita semua belajar sesuatu yang penting dari Pemuda Cobodoe. Bahwa persahabatan sejati bukan hanya soal bersama dalam tawa, tapi juga hadir dalam duka. Bukan hanya soal bermain di satu tim, tapi juga berdiri bersama ketika satu hati pergi.

“Bahwa cinta tidak berhenti pada kehidupan, ia terus hidup lewat kenangan, lewat aksi kecil yang tulus, dan lewat keberanian untuk mengenang.Hari ini, Pemuda Cobodoe telah mengajarkan kita arti sebenarnya dari kebersamaan yang tidak mengenal akhir.Dan mungkin, itu adalah kemenangan paling sejati dari Turnamen ini,” tutup Suyono.***