TIMES MALUT – Wacana pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Sofifi kembali mencuat ke publik. Namun, Wali Kota Tidore Kepulauan, Muhammad Sinen, menegaskan bahwa pembangunan Sofifi sebagai Ibu Kota Provinsi Maluku Utara tidak perlu dilakukan melalui pemekaran wilayah.

Menurutnya, alasan historis tuntutan DOB Sofifi pada 2010 lalu disebabkan oleh ketimpangan pembangunan antara Pulau Tidore dan wilayah Oba. Namun, ketimpangan tersebut kini telah diatasi selama dua periode kepemimpinannya bersama Wali Kota Capt. Ali Ibrahim sejak 2015 hingga 2024.

“Sejak saya menjabat, alokasi anggaran APBD Kota Tidore justru lebih besar ke wilayah Oba, yakni 60 persen, dibandingkan Pulau Tidore yang hanya 40 persen,” ujarnya saat ditemui di Kedaton Kesultanan Tidore, Kamis, 17 Juli 2025.

Sinen menuturkan, berbagai rencana pembangunan Sofifi sebagai kota baru telah dibahas bersama antara pemerintah pusat, provinsi, dan Pemkot Tidore. Hal itu tertuang dalam sejumlah dokumen perencanaan strategis, seperti RPJMN 2015–2019 dan RPJMN 2020–2024, di mana Sofifi masuk sebagai Proyek Prioritas Strategis Nasional.

Namun, perencanaan itu terganjal ketika Pemerintah Provinsi Maluku Utara mengusulkan perubahan delineasi wilayah pengembangan Sofifi, dari semula hanya mencakup Kecamatan Oba Utara menjadi mencakup juga wilayah Oba Tengah (Tidore) dan Jailolo Selatan (Halbar). Perubahan tersebut membuat rencana teknis yang disusun Kementerian ATR/BPN menjadi tidak relevan.

Tak hanya itu, menurutnya, pada tahun 2021 Kementerian Dalam Negeri telah menyusun rencana pembentukan Kawasan Khusus Ibu Kota Provinsi Maluku Utara melalui Peraturan Pemerintah (PP), dengan skema pembangunan yang dibagi dalam tiga skenario: Minimal (Rp 3,9 triliun), Moderat (Rp 5 triliun), dan Maksimal (Rp 15,8 triliun). Sayangnya, hingga kini tidak ada kejelasan tindak lanjut dari rencana tersebut.

“Kalau benar-benar serius mau bangun Sofifi, tidak perlu DOB. Tinggal realisasikan saja perencanaan yang sudah ada,” tegasnya.

Ayah Erik—sapaan akrab Wali Kota—juga menyoroti persoalan hukum terkait status Sofifi. Ia menyebut Pasal 9 Ayat (1) UU Nomor 46 Tahun 1999 perlu direvisi karena menyebutkan Sofifi sebagai bagian dari Kecamatan Oba, Kabupaten Halmahera Tengah. Padahal, setelah pemekaran wilayah melalui UU Nomor 1 Tahun 2003, Sofifi kini berada dalam wilayah administrasi Kota Tidore Kepulauan.

“Di sinilah muncul ketidakpastian hukum. Status Sofifi dalam undang-undang tidak lagi sesuai kondisi riil saat ini,” jelasnya.

Untuk itu, ia mengusulkan revisi pasal tersebut agar menyebutkan bahwa “Ibu kota Provinsi Maluku Utara adalah Kota Tidore Kepulauan yang beralamat di Sofifi.” Dengan demikian, percepatan pembangunan bisa dilakukan tanpa hambatan hukum dan tanpa polemik pemekaran wilayah.

Sinen menegaskan, inti persoalan pembangunan Sofifi terletak pada komitmen pemerintah provinsi dan pusat, bukan pada status otonomi daerah.

“Dalam rapat bersama di Kemenko Marves tahun 2021, Pak Luhut Panjaitan sudah menegaskan bahwa pembangunan Sofifi tidak bicara soal status kawasan, tapi pengembangannya sebagai ibu kota provinsi. Jadi, mari kita lanjutkan saja program-program yang sudah disepakati seperti pembangunan Bandara Loleo, pelabuhan, dan infrastruktur lainnya,” tandasnya.***